LAPORAN PRAKTIKUM
FITOKIMIA
PERCOBAAN KE 1
PEMBUATAN
SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA LADA HITAM
Nama : Lusiana Danis Pramesti
NIM :
1606067071
Kelompok : B3
Hari, Tanggal Praktikum : Sabtu, 21 April 2018
Dosen Pembimbing : Erma Yunita, M.Sc., Apt.
LABORATURIUM FITOKIMIA
AKADEMI FARMASI INDONESIA
YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN DAN PERNYATAAN
Laporan
Praktikum FITOKIMIA Percobaan Ke 1 dengan Judul PEMBUATAN SIMPLISIA DAN
SKRINING FITOKIMIA adalah benar sesuai dengan hasil praktikum yang telah
dilaksanakan. Laporan ini saya susun sendiri berdasarkan data hasil praktikum
yang telah dilakukan.
Dosen Pembimbing,
(Erma Yunita,
M.Sc., Apt.)
|
Yogyakarta, 21 April 2018
Mahasiswa,
(Lusiana Danis
Pramesti)
|
Data Laporan (Diisi dan diparaf oleh Dosen/Laboran/Asisten)
Hari, Tanggal Praktikum
|
Hari, Tanggal Pengumpulan
Laporan
|
Sabtu, 21 April 2018
|
Sabtu, 4 Mei 2018
|
Nilai Laporan (Diisi oleh Dosen)
No.
|
Aspek Penilaian
|
Nilai
|
1.
|
Ketepatan waktu pengumpulan
(10)
|
|
2.
|
Kesesuaian laporan dengan
format (5)
|
|
3.
|
Kelengkapan dasar teori (15)
|
|
4.
|
Skematika kerja (10)
|
|
5.
|
Penyajian hasil (15)
|
|
6.
|
Pembahasan (20)
|
|
7.
|
Kesimpulan (10)
|
|
8.
|
Penulisan daftar pustaka (5)
|
|
9.
|
Upload data via
blog/wordpress/scribd/ academia.edu (10)
|
|
TOTAL
|
LAPORAN PRAKTIKUM
FITOKIMIA
Percobaan
ke-1
PEMBUATAN
SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA
I.
Judul
Praktikum
Pembuatan
simplisia dan skrining fitokimia
II.
Tujuan
Praktikum
Mahasiswa
dapat melakukan pembuatan simplisia serta prosedur penapisan fitokimia untuk
mengidentifikasi kandungan zat aktif simplisia
III.
Dasar
Teori
a.
Pembuatan
Simplisia
Simplisia
adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang
telah dikeringkan.
Terdapat 3 jenis simplisia :
a. Simplisia
nabati
Berupa tanaman utuh,
bagian tanaman, eksudat tanaman atau gabungan ketiganya
b. Simplisia
hewani
Berupa hewan utuh atau
zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni
c. Simplisia
pelikan atau mineral
Berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan
belum bahan kimia murni
Proses pembuatan
simplisia :
a. Pengumpulan
bahan baku
Dalam pembuatan
simplisia, kualitas bahan baku simplisia merupakan faktor yang penting yang
perlu diperhatikan. Sumber bahan baku dapat berupa tumbuhan, hewan, maupun
mineral. Simplisia nabati yang ideal dapat ditinjau dari asal tumbuhan
tersebut. Tumbuhan tersebut dapat berasal dari tanaman budidaya maupun tumbuhan
liar.
Tanaman
ini sengaja dibudidaya untuk itu bibit tanaman harus dipilih yangbaik, ditinjau
dari penampilan dan kandungan senyawa berkhasiat, atau dengan kata lain
berkualitas atau bermutu tinggi. Simplisia yang berasal dari tanaman budidaya
selain berkualitas, juga sama rata atau homogen sehingga dari waktu ke waktu
akan dihasilkan simplisia yang bermutu mendekati ajeg atau konsisten. Dari
simplisia tersebut akan dihasilkan produk obat tradisional yang “reproducible”
atau ajeg khasiatnya. Perlu diperhatikan pula bahwa tanaman budidaya dapat
bervariasi kualitasnya bila ditanam secara monokultur (tanaman tunggal)
dibanding dengan tanaman tumpangsari. Demikian juga terdapat faktor lain yang
berpengaruh terhadap penampilan dan kandungan kimia suatu tanaman, antara lain
tempat tumbuh, iklim, pemupukan, waktu panen, pengolahan pasca panen dsb.
Tumbuhan
liar. Tumbuhan liar artinya tumbuhan tersebut tidak dibudidaya atau tumbuh
liar. Sebetulnya tumbuhan liar tersebut dapat dibudidayakan. Namun hal ini
jarang dilakukan oleh petani karena tradisi atau kebiasaan. Agar bahan tumbuhan
yang berasal dan tumbuhan liar ini mutunya dapat dipertahankan, diperlukan
pengawasan kualitas secara intern yang baik. Apabila suatu bahan baku simplisia
yang berasal dari tumbuhan liar ini melangka, padahal permintaan pasar tinggi,
maka sering kita jumpai adanya pemalsuan. Dan pengalaman dapat kita lacak
kemudian dicatat asal-usul bahan tumbuhan yang berasal dari tumbuhan liar tersebut,
kita periksa kadar bahan berkhasiat, sehingga kita dapat memilih bahan
simplisia serupa untuk produk kita di masa mendatang.
Waktu
pemanenan yang tepat akan menghasilkan simplisia yang mengandungbahan
berkhasiat yang optimal. Kandungan kimia dalam tumbuhan tidak samasepanjang
waktu. Kandungan kimia akan mencapai kadar optimum pada waktu tertentu.
Ketentuan saat
pemanenan tumbuhan atau bagian tumbuhan adalah sebagai benikut.
1) Biji
(semen) dipanen pada saat buah sudah tua atau buah mengering, misalnya
biji kedawung.
2) Buah
(fructus) dikumpulkan pada saat buah sudah masak atau sudah tua tetapi
belum masak, misalnya Iada (misalnya pada pemanenan lada, kalau dilakukan pada
saat buah sudah tua tetapi belum masak akan dihasilkan lada hitam (Piperis
nigri Fructus); tetapi kalau sudah masak akan dihasilkan lada putih (Piperis
aIbi Fructus).
3) Daun
(folia) dikumpulkan pada saat tumbuhan menjelang berbunga atau sedang
berbunga tetapi belum berbuah.
4) Bunga
(flores/flos) dipanen pada saat masih kuncup (misalnya cengkeh atau
melati) atau tepat mekar (misalnya bunga mawar, bunga srigading).
5) Kulit
batang (cortex) diambil dari tanaman atau tumbuhan yang telah tua atau umun
yang tepat, sebaiknya pada musim kemarau sehingga kulit kayu mudah dikelupas.
6) Umbi
Iapis (bulbus) dipanen pada waktu umbi mencapai besar optimum, yaitu
pada waktu bagian atas tanaman sudah mulai mengering (misalnya bawang putih dan
bawang merah).
7) Rimpang
atau “empon-empon (rhizomad) dipanen pada waktu pertumbuhan maksimal dan
bagian di atas tanah sudah mulai mengering, yaitu pada permulaan musim kemarau.
b. Sortasi basah.
Tahap ini perlu dilakukan karena
bahan baku simplisia harus benar dan
murni, artinya berasal dari tanaman yang merupakan bahan baku simplisia
yang dimaksud, bukan dari tanaman lain. Dalam kaitannya dengan ini, perlu
dilakukan pemisahan dan pembuangan bahan organik asing atau tumbuhan atau
bagian tumbuhan lain yang terikut. Bahan baku simplisia juga harus bersih,
artinya tidak boleh tercampur dengan tanah, kerikil, atau pengotor lainnya (misalnya
serangga atau bagiannya).
c. Pencucian.
Pencucian seyogyanya jangan
menggunakan air sungai, karena cemarannya berat. Sebaiknya digunakan air dari
mata air, sumur, atau air ledeng (PAM). Setelah dicuci ditiriskan agar
kelebihan air cucian mengalir. Ke dalam air untuk mencuci dapat dilarutkan
kalium permanganat seperdelapan ribu, hal ini dilakukan untuk menekan angka
kuman dan dilakukan untuk pencucian rimpang.
d. Perajangan.
Banyak simplisia yang memerlukan
perajangan agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Perajangan dapat
dilakukan “manual” atau dengan mesin perajang singkong dengan ketebalan yang
sesuai. Apabila terlalu tebal maka proses pengeringan akan terlalu lama dan
kemungkinan dapat membusuk atau berjamur. Perajangan yang terlalu tipis akan
berakibat rusaknya kandungan kimia karena oksidasi atau reduksi. Alat perajang
atau pisau yang digunakan sebaiknya bukan dan besi (misalnya “stainless steel”
eteu baja nirkarat).
e. Pengeringan.
Pengeringan merupakan proses
pengawetan simplisia sehingga simplisia tahan lama dalam penyimpanan. Selain
itu pengeringan akan menghindari teruainya kandungan kimia karena pengaruh
enzim. Pengeringan yang cukup akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan
kapang (jamur). Jamur Aspergilus flavus akan menghasilkan aflatoksin
yang sangat beracun dan dapat menyebabkan kanker hati, senyawa ini sangat
ditakuti oleh konsumen dari Barat. Menurut persyaratan obat tradisional tertera
bahwa Angka khamir atau kapang tidak Iebih dari 104. Mikroba patogen harus
negatif dan kandungan aflatoksin tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj).
Tandanya simplisia sudah kering adalah mudah meremah bila diremas atau mudah
patah.
Menurut persyaratan obat
tradisional pengeringan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 10%. Cara
penetapan kadar air dilakukan menurut yang tertera dalam Materia Medika
Indonesia atau Farmakope Indonesia. Pengeringan sebaiknya jangan di bawah sinar
matahari langsung, melainkan dengan almari pengering yang dilengkapi dengan
kipas penyedot udara sehingga terjadi sirkulasi yang baik. Bila terpaksa
dilakukan pengeringan di bawah sinar matahari maka perlu ditutup dengan kain
hitam untuk menghindari terurainya kandungan kimia dan debu. Agar proses
pengeringan berlangsung lebih singkat bahan harus dibuat rata dan tidak
bertumpuk. Ditekankan di sini bahwa cara pengeringan diupayakan sedemikian rupa
sehingga tidak merusak kandungan aktifnya.
f. Sortasi kering.
Simplisia yang telah kering
tersebut masih sekali lagi dilakukan sortasi untuk memisahkan kotoran, bahan
organik asing, dan simplisia yang rusak karena sebagai akibat proses
sebelumnya.
g. Pengepakan dan penyimpanan.
Bahan pengepak harus sesuai dengan
simplisia yang dipak. Misalnya simplisia yang mengandung minyak atsiri jangan
dipak dalam wadah plastik, karena plastik akan menyerap bau bahan tersebut.
Bahan pengepak yang baik adalah karung goni atau karung plastik. Simplisia yang
ditempatkan dalam karung goni atau karung plastik praktis cara penyimpanannya,
yaitu dengan ditumpuk. Selain itu, cara
menghandelnya juga mudah serta cukup menjamin dan melindungi
simplisia di dalamnya. Pengepak lainnya digunakan menurut
keperluannya. Pengepak yang dibuat dari aluminium atau kaleng dan seng
mudah melapuk, sehingga perlu dilapisi dengan plastik atau
malam atau
yang sejenis dengan itu.
h.
Penyimpanan
Penyimpanan harus
teratur, rapi, untuk mencegah resiko tercemar atau saling mencemari satu sama
lain, serta untuk memudahkan pengambilan, pemeriksaan, dan pemeliharaannya. Simplisia
yang disimpan harus diberi label yang mencantumkan identitas, kondisi, jumlah,
mutu, dan cara penyimpanannya. Adapun tempat atau gudang penyimpanan harus
memenuhi syarat antara lain harus bersih, tentutup, sirkulasi udara baik, tidak
lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak boleh leluasa
masuk ke dalam gudang, konstruksi dibuat sedemikian rupa sehingga serangga atau
tikus tidak dapat Ieluasa masuk, tidak mudah kebanjiran serta terdapat alas
dari kayu yang baik (hati-hati karena balok kayu sangat disukai rayap) atau
bahan lain untuk meletakkan simplisia yang sudah dipak tadi. Pengeluaran simplisia
yang disimpan harus dilaksanakan dengan cara mendahulukan bahan yang disimpan
Iebih awal (“First in — First out” = FIFO).
b. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia
merupakan cara untuk mengidentifikasi
bioaktif yang belum tampak melalui suatu
tes atau
pemeriksaan yang dapat dengan
cepat memisahkan antara bahan
alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan
fitokimia tertentu. Skrining fitokimia
merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang
bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining
fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi
pengujian warna dengan
menggunakan suatu pereaksi
warna. Hal penting
yang berperan penting dalam
skrining fitokimia adalah
pemilihan pelarut dan
metode ekstraksi (Kristianti dkk., 2008). Skrining fitokimia serbuk
simplisia dan sampel dalam bentuk basah
meliputi pemeriksaan kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/ steroida, tanin dan saponin
menurut prosedur yang telah dilakukan oleh
Harbone (Harbone, 1987) dan Depkes (Depkes, 1995).
a.
Alkaloid
Alkaloid adalah
suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada semua jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung
paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan membentuk
cincin heterosiklik (Harborne, 1984). Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun,
ranting dan kulit kayu dari tumbuh-tumbuhan.
Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%. Alkaloid kebanyakan
bersifat racun, tetapi ada pula yang
sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat
optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal
tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu
kamar (Sabirin, et al.,1994).
Garam alkaloid dan
alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat, berbentuk kristal tidak berwarna (berberina dan
serpentina berwarna kuning). Alkaloid sering
kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang
dijumpai di alam, meskipun dalam
beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer
sementara tumbuhan lain
mengandung enantiomernya
(Padmawinata, 1995).
Ada juga alkaloid
yang berbentuk cair, seperti konina, nikotina, dan higrina.
Sebagian besar
alkaloid mempunyai rasa yang pahit. Alkaloid juga mempunyai sifat farmakologi. Sebagai contoh, morfina sebagai
pereda rasa sakit, reserfina sebagai
obat penenang, atrofina berfungsi sebagai antispamodia, kokain
sebagai anestetiklokal, dan strisina
sebagai stimulan syaraf (Ikan, 1969).
Alkaloid telah
dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya
terhadap mamalia dan pemakaiannya di
bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali
kabur. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan
perannya dalam tumbuhan sebagai berikut (Padmawinata, 1995):
1)
Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan
nitrogen seperti urea dan asam urat
dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang
tidak dianut lagi).
2)
Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai
tandon penyimpanan nitrogen meskipun
banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
Suatu cara mengklasifikasi alkaloid
adalah didasarkan pada jenis
cincin heterosiklik nitrogen yang terikat.
Menurut klasifikasi ini
alkaloid dibedakan menjadi ; pirolidin (1), piperidin (2),
isoquinolin (3), quinolin (4) dan indol
(5).Alkaloid pada umumnya berbentuk kristal yang tidak berwarna, ada
juga yang berbentuk cair seperti koniina
(6), nikotin (7). Alkaloid yang berwarna sangat jarang ditemukan misalnya berberina (8) berwarna
kuning. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa ini mudah terdekomposisi terutama
oleh panas, sinar dan oksigen
membentuk
N-oksida. Jaringan yang masih mengandung lemak, maka dilakukan ekstraksi pendahuluan petroleum eter.
Uji alkaloid
dilakukan dengan cara melarutan ekstrak uji sebanyak 2
mL diuapkan di atas cawan
porselin hingga di dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2 N. Larutan
yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3
tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak
3 tetes dan tabung ketiga
ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes.
Terbentuknya endapan jingga pada
tabung kedua dan
endapan putih hingga kekuningan pada tabung ketiga menunjukkan
adanya alkaloid (Jones and Kinghorn,
2006)
Sampel dikatakan
mengandung alkaloid jika reaksi positif yang membentuk endapan sekurang-kurangnya dua reaksi dari
golongan reaksi pengendapan yang
dilakukan. Sebagian besar alkaloid tidak larut atau sedikit larut dalam
air, tetapi bereaksi dengan asam
membentuk garam yang larut dalam air. Alkaloid bebas biasanya larut dalam eter
atau kloroform maupun
pelarut nonpolar lainnya
kebanyakan berbentuk kristal, meskipun ada beberapa yang amorf dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar.
Garam alkaloid berbentuk kristal.
Alkaloid biasanya tidak berwarna dan memiliki rasa pahit (Setiawan,
2013).
b.
Flavonoid
Flavonoid
merupakan golongan fenol terbesar yang
senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6 dan
sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada
satu atau lebih grup hidroksil fenolik
(Sirait, 2007; Bhat
et al., 2009).
Flavonoid merupakan golongan metabolit
sekunder y ang disintesis dari asam piruvat melalui
metabolisme asam amino (Bhat
et al.,2009). Flavonoid
adalah senyawa fenol, sehingga warnanya
berubah bila ditambah basa atau
amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis
flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,
glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon
(Harborne, 1987).
Pemeriksaan
golongan flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna yaitu fitokimia untuk menentukan keberadaan senyawa
golongan flavonoid dan uji adanya
senyawa polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam sampel
digunakan uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%. Sedangkan
uji adanya
senyawa polifenol
dilakukan dengan larutan penambahan FeCl3 adapun uji tersebut secara lengkap sebagai berikut (Achmad,
1986., Harbone, 1987)
Berikut penjelasan
beberapa cara yang biasa ditempuh dalam skrining fitokimia. Pemeriksaan golongan flavonoid
dapat dilakukan dengan uji warna yaitu
fitokimia untuk menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid dan uji
adanya senyawa polifenol. Uji keberadaan
senyawa flavonoid dari dalam sampel digunakan
uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%. Sedangkan uji
adanya senyawa polifenol dilakukan
dengan larutan penambahan FeCl3 adapun uji tersebut secara lengkap sebagai berikut (Achmad,
1986., Harbone, 1987):
1)
Uji Wilstatter
Isolat ditambahakan 2-4 tetes HCl
pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg.
Perubahan warna terjadi diamati dari kuning tua menjadi orange (Achmad,
1986).
2)
Uji Bate-Smith
Isolat ditambahkan HCl pekat lalu
dipanaskan dengan waktu 15 menit di atas
penangas air. Reaksi positif jika memberikan warna merah (Achmad, 1986).
3)
Uji dengan NaOH 10%
Isolat ditambahkan pereaksi NaOH 10%
dan reaksi positif apabila terjadi
perubahan warna yang spesifik (Harbone, 1987).
4)
Uji Golongan Polifenol
Isolat ditambahkan larutan FeCl3 10% dalam akuades. Reaksi positif jika memberikan warna hijau, merah,
ungu, biru, atau hitam yang kuat (Harbone,
1987).
c.
Saponin
Saponin adalah
glikosida triterpena dan
sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 genus pada tumbuhan.
Glikosida adalah suatu kompleks antara
gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai 5 dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Adanya saponin
dalam tumbuhan ditunjukkan dengan pembentukan
busa yang sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak
(Harborne, 1987).
Menurut Simes
et al. (Sangi et al., 2008) uji saponin dilakukan dengan cara memasukkan ekstrak sampel daun sebanyak 1
gram ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan akuades
hingga seluruh sampel terendam, dididihkan selama 2-3 menit, dan selanjutnya
didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat. Hasil
positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil.
d.
Glikosida
Glikosida
merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang termasuk dalam kelompok
metabolit sekunder. Di dalam tanaman glikosida tidak lagi diubah menjadi
senyawa lain, kecuali bila memang mengalami peruraian akibat pengaruh
lingkungan luar (misalnya terkena panas dan teroksidasi udara).
Glikosida adalah
senyawa yang terdiri atas gabungan dua bagian senyawa, yaitu gula dan bukan
gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen (O
– glikosida, dioscin), jembatan nitrogen (N-glikosida, adenosine), jembatan sulfur
(Sglikosida, sinigrin), maupun jembatan karbon (C-glikosida, barbaloin). Bagian
gula biasa disebut glikon sedangkan bagian bukan gula disebut sebagai aglikon
atau genin. Apabila glikon dan aglikon saling terikat maka senyawa ini disebut
sebagai glikosida.
e.
Steroid dan Terpenoid
Terpen-terpen
adalah suatu golongan senyawa yang sebagian besar terjadi dalam dunia
tumbuh-tumbuhan. Hanya sedikit sekali terpen-terpen yang diperoleh dari
sumber-sumber lain. Monoterpen-monoterpen dan seskuiterpen adalah komponen
utama dari minyak menguap atau minyak atsiri. Minyak menguap ini diperoleh dari
daun atau jaringan-jaringan tertentu dari tumbuh-tumbuhan atau pohon-pohonan.
Minyak atsiri adalah bahan yang mudah menguap, sehingga ia mudah dipisahkan
dari bahan-bahan lain yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Salah satu cara yang
paling popular untuk memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuh-tumbuhan
ialah penyulingan. Senyawa-senyawa di dan triterpen tidak dapat diperoleh
dengan jalan destilasi uap, tapi diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan tanaman
karet atau resin dengan jalan isolasi serta metoda pemisahan tertentu.
Perbandingan
banyaknya atom karbon dan atom hydrogen dalam terpen adalah 5 : 8. Terpen
tersusun dari senyawa – senyawa yang mengandung gabungan kepala ke ekor dari
satuan kerangka isoprene (kepala adalah ujung yang terdekat ke cabang metil).
Untuk menekankan hubungan dengan isoprene ini maka terpen juga disebut
isoprenoid.terpan mengandung 2,3 atau lebih satuan isoprene.
Secara umum
terpenoid terdiri dari unsur-unsur C dan H dengan rumus molekul umum (C5H8)n.
Klasifikasi biasanya tergantung pada
nilai n.
Nama
|
Rumus
|
Sumber
|
Monoterpen
|
C10H16
|
Minyak Atsiri
|
Seskuiterpen
|
C15H24
|
Minyak Atsiri
|
Diterpen
|
C20H32
|
Resin Pinus
|
Triterpen
|
C30H48
|
Saponin, Damar
|
Tetraterpen
|
C40H64
|
Pigmen, Karoten
|
Politerpen
|
(C5H8)n
n 8
|
Karet Alam
|
f.
Tanin
Tanin merupakan
senyawa umum yang terdapat dalam tumbuhan berpembuluh, memiliki
gugus fenol, memilki
rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena kemampuannya
menyambung silang protein. Jika bereaksi
denganprotein membentuk kopolimer
mantap yang tidak
larut dalam air. Tanin secara kimia
dikelompokkan menjadi dua
golongan yaitu taninterkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang
membentuk senyawa dimer dan kemudian
oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester
yang dapat terhidrolisis
jika dididihkan dalam asam
klorida encer (Harborne, 1987).
Uji tanin
dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak sampel kedalam metanol sampai sampel terendam semuanya. Kemudian
ditambahkan 2-3 tetes larutan FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hitam kebiruan atau
hijau (Sangi et al., 2008).
g.
Kuinon
Quinon bebas
praktis ridak larut dalam air, dan dapat diekstraksi dengan pelarut oraganik
umum, dsan pemisahannya dilakukan dnegan teknik kromatografi umum. Benzoquinon
dan naftoquinon dapat dilakuakn dengan distilasi uap. Mereka cukup stabil
terhadap panas, tetapi masih ada kemungkinan pembentukan artefak, contohnya
oksidasi oleh silika gel pada 7-metiljuglone memnetuk metilnaftarizin dan
dimernya, atau metoksilasi naftoqunon oleh metanol.
Ekstraksi
glikosida daapt dialkukan dengan air atau larutan hydroalkohol. Penemuan bentuk
tereduksi ( quinol, anthron ) sangat sulit dilakukan: harus dilakukan pada
temperatur rewndah, jauh dari cahaya dan di bawah nitrogen untuk mencegah
oksidasinya secara spontan selama proses ekstraksi.
Berbagai reaksi
warna dapat digunakan untuk karakterisasi quinon. Yang paling utama adalah
reaksi Brontager’s, yang dilakukan dengan cara melarutkan quinon dalm medium
larutan alkali: larutan menampakkan warna dalam range tertentu, tergantung pada
struktur dan subsituen dari quinon itu sendiri,
dari orange-merah menjadi keunguan-violet. Reaksi ini juga dapat
dilakuakn pada plat KLT. Pada kasus yang spesifik dari 1,8-dihidroksianthraquinon
dengan magnesium asetat sering terjadi membentuk waran yang mantap.
Kuantitasi quinon
dapat dilakukan dengan spektrofotometri, dan berdasarkan reaksi warna diatas.
Sekarang ini qualiti kontrol dari obat ini dalam perdagangan dilakukan dengan
HPLC ( pada fasa Normal, kondisi isokratik, dan deteksi UV).
h.
Kumarin
Kumarin dalam
bentuk bebas larut dalam alkohol dan pelarut organik seperti eter dan pelarut
terklorinasi, sehingga dengan pelarut inilah kumarin dapat diekstrak. Bentuk
glikosidanya larut dalam air. Untuk proses pemurnian dapat dilakukan dengan
spesifikasi pada lakton yaitu pembukaan cincin alkton pada kondisi alkalis dan
penutupan lakton adalm medium asam. Pada beberapa kasus dapat juga dilakukan
proses sublimasi. Namun demikaian aplikasi dari dua prosedur diatas terbatas
karena resiko terjadi perubahan srtuktur asli. Resiko pembentukan artefak juga
terjadi pada teknik kromatografi dengan fasa diam silika gel, terutama untuk
kumarin terasilasi ;dan fraksinasi dengan gel akan menyebabkan senyawa berubah
dari bentuk bebas menjadi bentuk glikosida. Biasanya digunakn HPLC
semipreparatif ( pada fasa normal dan fasa bebas ).
Kumarin mempunyai
karakteristik spektrum UV yang dipengaruhi oleh sifat alami dan posisi
substituen dan juga oleh proses alkalinisasi (KOH, NaOCH3). Ketika dilihat dibawah
cahaya UV, noda TLC dari obat yang
mengandung kumarin akan bewarna yang
akan diperjelas dengan penambahn Amonia pada range warna biru sampai kuning dan
ungu. Untuk perkiraan kuantitatif dari senyawa ini dalam obat, adapt dilakukan dengan teknik
spektrofluorometri (setelah elusi noda TLC) atau dengan HPLC.
i.
Minyak Atsiri
Minyak atsiri
bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan campuran senyawa organik yang kadang kala terdiri dari
lebih besar dari 25 senyawa atau
komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen minyak atsiri adalah
senyawa yang hanya
mengandung karbon, dan hidrogen
atau karbon, hidrogen dan
oksigen yang tidak bersifat aromatik yang secara umum disebut terpenoid.
Minyak atsiri adalah zat berbau yang
terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak
eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial
dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Dalam keadaan
segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat
teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak
atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh,
ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani,
2004).
Uji fitokimia
minyak atsiri dilakukan dengan cara melarutkan 1 mL larutan uji lalu diuapkan di atas cawan
porselin hingga diperoleh residu. Hasil
positif minyak atsiri ditandai dengan
bau khas yang dihasilkan oleh residu tersebut (Gunawan dan Mulyani, 2004)
IV.
Alat
dan Bahan
1.
Alat
a.
Tabung reaksi
b.
Beaker glass
c.
Pipet tetes
d.
Spatulla
e.
Pengaduk
f.
Pemanas
g.
Corong
h.
Penjepit
2.
Bahan
a.
Simplisia lada hitam
b.
Aquadest
c.
Timbal (II) Asetat
d.
Kloroform
e.
Isopropanol
f.
Natrium Sulfat Anhidrat
g.
Pereaksi Molish
h.
Asam Sulfat Pekat
i.
HCl 2N
j.
Pereaksi Mayer
k.
Pereaksi Bouchardat
l.
Pereaksi Dragendroff
m.
Serbuk Mg
n.
Aminalkohol
o.
Etanol 96%
p.
Asam Sulfat 2N
q.
Asam Asetat Anhidrat
r.
Besi (III) Klorida 1%
s.
Pereaksi Stiasny
t.
Natrium Asetat
u.
NaOH 1N
v.
Amonia 10 %
w.
Petrolum Eter
x.
Kertas Saring
V.
Cara
Kerja
1. Identifikasi
Alkaloid
Serbuk
simplisia ditimbang sebanyak 0,5g kemudian ditambah 1 ml asam klorida 2N dan 9
ml aquadest, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit. Dinginkan dan
disaring, filtrate digunakan untuk perconaan berikut:
a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi
Meyer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning
b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi
Dragendorff, akan terbentuk warna merah atau jingga.
Alkaloid positif jika terjadi endapan atau
kekeruhan paling sedikit dua dari ketiga percobaan tersebut (Depkes, 1989).
2. Identifikasi
Flavonoid
Sebanyak 10g serbuk
simplisia ditambahkan air panas, didihkan selama 5 menit dan disaring dalam
keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1g serbuk magnesium dan 1 ml
asam klorida pekat dan 2 ml amilalkohol, dikocok dan dibiarkan memisah.
Flavonoid positif jika warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alcohol
(Farnsworth, 1996).
3. Identifikasi
Saponin
Sebanyak 0,5g serbuk
simplisia, dimasukan kedalam tabung reaksi. Ditambahkan air panas, didinginkan
kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk buih yang menetap
setinggi 1 sampai 10 cm, tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan
penambahan asam klorida 2N menunjukan adanya saponin (Depkes, 1989).
4. Identifikasi
Tanin
Terdapat 0,5g serbuk
simplisia disari dengan 10 ml aquadest, dididihkan selama 15 menit, didinginkan
dan disaring dengan kertas saring, kemudian filtrat dibagi dua bagian. Ke dalam
filtrat bagian pertama ditambahkan larutan feri (III) klorida 1%. Terbentuknya
warna biru tua atau hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa golongan tanin.
Ke dalam filtrat bagian kedua ditambahkan 15 ml pereaksi Stiasny (formaldehida
30% : HCl pekat = 2:1) dan dipanaskan di atas penganas air. Terbentuknya
endapan merah muda menunjukkan adanya tanin katekuat. Selanjutnya endapan
disaring, filtrat dijenuhkan dengan natrium asetat, dan ditambahkan beberapa
tetes larutan feri (III) klorida 1%. Terbentuknya warna biru tinta menunjukkan
adanya tanin galat (Depkes, 1989)
5. Identifikasi
Kuinon
Sebanyak 5 ml larutan
percobaan yang diperoleh dari identifikasi flavonoid terhadap ekstrak
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH
1N. Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya senyawa golongan kuinon (Djamil
dan Anelia, 2009).
VI.
Hasil
Praktikum
No
|
Jenis Uji
|
Gambar
|
Hasil
|
Keterangan
|
1
|
Alkaloid
|
+
|
Endapan merah
|
|
2
|
Flavonoid
|
-
|
Endapan putih
|
|
3
|
Saponin
|
-
|
Tidak terbentuk buih
|
|
4
|
Tanin
|
-
|
Keruh
|
|
5
|
Kuinon
|
-
|
Keruh
|
VII.
Pembahasan
Skrining fitokimia merupakantahap pendahuluan dalam suatu
penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan
senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diteliti. Simplisia yang akan
diteliti adalah Piperis nigri Fructus (Lada Hitam) sedangkan senyawa yang
diteliti adalah alkaloid, flavoniod, saponin, tanin dan kuinon.
Simplisia yang diuji berbentuk serbuk agak kasar dengan
pemerian berbau khas aromatik dan berwarna kecoklatan (coklat muda). Hal ini
suah sesuai dengan pemeriannya yaitu lada hitam memiliki rasa pedas, berbau
khas dan aromatik (Hariana, 2007).
Hasil skrining fitokimia dari senyawa lada hitam hanya
ditemukan senyawa alkaloid. Hal ini berbeda dengan pustaka yang menyatakan
simplisia lada hitam mengandung senyawa alkaloid, saponin, amida, steroid,
lignin, neolignan dan kalkon (Damanhouri dan Ahmad, 2014) dan ekstrak etanol
lada hitam mengandungsenyawa alkaloid, glikosida, tanin, fenol, terpenoid,
steroid dan flavonoid (Nahak dan Sahu, 2011).
Perbedaan hasil skrining fitokimia dikarenakan perbedaan
kondisi geografis tempat tumbuh sampel sehingga mempengaruhi kandungan senyawa
simplisia tersebut dan juga sedikitnya simplisia yang diuji sehingga hasil
skrining fitokimia kurang jelas atau samar-samar.
VIII.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa simplisia
lada hitam (Piperis nigri Fructus) yang diuji mengandung alkaloid. Perbedaan
kandungan senyawa simplisia lada hitam dapat dikarenakan perbedaan geografis
tempat tumbuh dan kurang jelasnya hasil uji dikarenakan sampel sedikit.
IX.
Daftar Pustaka
Achmad, S.A. 1986. Kimia
Organik Bahan Alam. Jakarta:
Karnunika
Bhat SV, Nagasampagi BA, &
Meenakshi S. 2009. Natural Products : Chemistry and
Application.
Narosa Publishing House, New Delhi. India.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi
IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P.7, 1036-1043.
Didik
Gunawan & sri Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam. Bogor: Penebar Swadaya.
Djamil, R. dan Anelia, T.,
2009, Penapisan Fitokimia, Uji BSLT dan Uji Antioksidan
Ekstrak Metanol beberapa Spesies Papilionaceae, Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, Vol. 7 No.2 Hal. 65-71.
Emilan, Tommy dkk. 2011. Konsep
Herbal Indonesia : Pemastian Mutu Produk Herbal.
Depok
FMIPA UI
Harbone, J.B., 1987, Metode
Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, Terbitan Kedua. Bandung: ITB
Harborne, J.B.,
1984. Phitochemical Method. Chapman and Hall ltd. London. Herbert,
R.B.,
1989. The Biosynthesis of Secondary Metabolism. Campman and Hall
29 West
35th Street, New York.
Hariana,
A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 2. Jakarta: Penebar Swadaya.
Insanu, Muhammad
dkk. 2017. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Dari Ekstrak Daun
Empat Tanaman Marga
Piper. Jurnal Pharmaciana Vol.7. No.2. November 2017. Hal 305-312
Ikan, R. 1969. Natural Product A
Laboratory Guide. Jerussalem: Israel Universities
Press.
Jones, W. P. and A. D. Kinghorn.
2006. Extraction of Plant Secondary
Metabolites.
In: Sarker, S. D., Latif, Z. and Gray, A. I., eds. Natural Products Isolation. 2nd Ed. New
Jersey: Humana Press. P.341-342
Khotimah,
Khusnul. 2016. Skrining Fitokimia dan Identifikasi Metabolit Sekunder
Senyawa
Karpain pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubercens Lenne dan
K.Koch dengan LC/MS.
Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Nahak, G. dan R.K Sahu. 2011. Phytochemical Evaluation and
Antioxidant Activity
of Piper cubeba and Piper nigrum. Journal
of Applied Pharmaceutical Science. Vol. 1. No. 8. pp. 153-157.
Padmawinata, K. 1995. Kandungan
Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: Penerbit
ITB (Terjemahan dari Robinson, T. 1991. The Organic
Constituens of Higher Plant, 6th ed).
Sabirin, M., Hardjono S., dan
Respati S., 1994. Pengantar Praktikum Kimia Organik
II.UGM-Yogyakarta.
Sangi, M.; Runtuwene, M.R.J.;
Simbala, H.E.I. dan Makang, V.M.A. 2008. Analisis
Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara.Chemistry
Progress. Vol 1, hlm: 47-53
Setiawan, P.Y.B. 2013. Penerapan
Metode Simplex Lattice Design Dalam Penentuan
Komposisi
Pelarut Etanol-Air Pada Proses Ekstraksi Daun Pepaya (Carica
Papaya)
Dengan Respon Aktivitas Larvasida Nyamuk Aedes Aegypti. Skripsi: Universitas Gadjah Mada yogyakarta
Sirait, M., 2007, Penuntunan Fitokimia dalam Farmasi,
Bandung: ITB, 60-61.
Casino Nightclub - Columbus - Mapyro
ReplyDeleteFind Casinos Near Casino Nightclub in Columbus, 전라북도 출장샵 OH from $43 to 영천 출장샵 $5550 충청북도 출장마사지 and see 광양 출장샵 photos and reviews. Casino Nightclub 제천 출장마사지 in Columbus, OH.